10 Juni 2013

Ini Jogjakarta, Di Mata Saya.



Mau sedikit curhat donk. Tentang saya yang sudah stay hampir setaun di Jogjakarta. Pasti pada setuju donk klo Jogja itu keren banget buat tempat wisata, klasik-klasik unyu gmn gt. Tapiiii… bukan itu yang mau saya bahas, tapi kehidupan mahasiswa/inya disini. Di sini, di Jogjakarta saya banyak menemukan hal yang tidak klop dengan hati saya masalah pergaulan. Tentunya saya ga bisa mengeneralisir kalo ini hanya terjadi di Jogja saja, sepertinya di setiap kota juga ada *namun saya berharap tidak terjadi di banyak kota*. Saya yang awalnya tinggal di Bandung dan ditempatkan di kampus yang dekat dengan pesantren *Pesantren DT Aa Gym* membawa saya untuk belajar banyak tentang islam, juga keaktifan saya di lingkungan islami salman ITB membuat saya sedikit-banyak tau, mana yang seharusnya di kerjakan dan mana yang tidak, tentunya menurut pandangan agama. Tapi di sini tidak sama sekali. Namun saya yakin ini bagian dari rencana Allah, gimana caranya saya tetap bertahan dengan keyakinan dan pemahaman-pemahaman yang sudah tertanam sebelumnya *insya Allah yang sesuai dengan ajaran Islam*. Langsung aja, yang bikin saya terkaget-kaget disini adalah, temen-temen perempuan saya yang rata-rata mereka punya pacar sering menghabiskan seharian dengan pacarnya, bahkan lebih dari sehari, dua hari (menginap), ada pula yang mematikan lampu kamar ketika pacarnya datang, meski pintu tetap dibuka (sedikit). Ada yang pasti mandi kalo pacarnya mau datang atau bahkan mandi pas pacarnya datang. Yang bikin saya bertanya-tanya dia keluar kamar mandi masih pake handuk dan masuk ke kamar *yang ada pacarnya didalam* terus keluar sudah berpakaian rapih *ganti bajunya gimana coba?*.Ada yang ga malu-malu cerita kalo abis nginep di hotel sama pacarnya. Dia sampe tau harga hotel ini dan hotel itu per-malamnya berapa.  Ada yang ngebantuin pacarnya sampe bela-belain nginep di kosan pacarnya. Ada yang nginep di keluarga si pacar tanpa ngasih tau orang tuanya. Dan menurut saya, itu sangat2 menyedihkan. Lagi, ada yang ketika di ajak kajian agama langsung nolak dan menyatakan ke-ogah-an nya, semacam ‘ya ampun, plis deh’, tapi giliran di ajak ke night club atau diskusi pemikir2 atau filsuf2 jaman dulu langsung semangat 45. Ada yang lebih menghormati dosen bicara daripada mengingatkan dosen kalo waktu sholat sebentar lagi habis, padahal dirinya belum sholat, semacam ilmu dari dosen lebih penting ketimbang sholat yang mungkin ga nyampe 5 menit. Di sini mengerikan! Saya setuju dengan image yang sudah ada sebelumnya, Jogja itu sangat terbuka untuk hal-hal seperti ini. Jogja lebih parah dari Bandung, itu kata sebagian orang yang pernah saya dengar. Dan saya, setuju. 

Aaahh,, saya ga berani bilang apa-apa sama mereka. Maaf kalo sedikit terkesan belagu atau sok suci karena ngebahas tentang ini. Tapi ya ampun, saya kasihan sama orang tuanya yang nanti bakal dimintai pertanggungjawaban tentang anaknya, saya kasian kalo nanti ujung-ujungnya mereka putus *ga jadi nikah sama pasangannya*. Lalu kenapa ga nikah aja sih? Mereka bilang belum siap, masih ingin ini, masih ingin itu. Tapi kan, sebagai muslim seharusnya mereka paham, dengan menikah semuanya akan jadi ibadah, bahkan malaikat bershalawat untuk itu. Ops.. bukan seharusnya, karena mereka pula yang menentukan, ingin mempelajari islam atau tidak. 

Apapun, saya berterima kasih pada Allah yang telah ‘menempatkan’ saya di lingkungan DT sebelumnya untuk mencari bekal sebanyak-banyaknya sebelum terjun ditempat yang jauh berbeda. Juga orang tua saya, mereka mengajarkan saya untuk cinta Allah, ada Allah yang melihat segala macam apa yang kita kerjakan. Dan kakak, dia yang mengajarkan saya agama, luar biasa. Terima kasih atas kepercayaannya pada saya, saya diizinkan untuk mengenal dunia *kok jadi kayak bagian ucapan terima kasih di skripsi ya*. Anyway, siapkan bekal kalo mau tinggal di tempat yang kamu belum tau sama sekali! Tentunya bekal yang baik, agama. Your life is yours and my life is mine. Ini cuma curhatan saya, semoga bermanfaat. 

Jogja, 10 June 13
10.17 AM